Minggu, 23 Desember 2007

MENGOPTIMALKAN PENGAWASAN PEMBAYARAN UMP

Upah Minimum Propinsi (UMP) DIY 2008 sudah ditetapkan sebesar Rp586.000,- dan akan diberlakukan mulai 1 januari 2008. Sebelum nominal nilai sebesar Rp586.000,- di atas ditetapkan pada 12 November 2007 lalu, benyak desakan dari berbagai organisasi atau serikat pekerja supaya Dewan pengupahan memperhitungkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sementara itu angka di atas menurut Ketua Apindo DIY dinilai memberatkan kalangan pengusaha, terlebih dengan menguatnya harga minyak dunia yang akan berdampak pada peningkatan biaya produksi secara umum.
Terlepas dari pro dan kontra di atas, ketika besaran UMP sudah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal UMP tersebut dari pengusaha kepada pekerjanya. Masalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal UMP ini menjadi demikian mendesak karena “disinyalir” masih banyak perusahaan yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP.
Kewenangan pengawasan secara yuridis ada pada Dinas Tenaga Kerja setempat, baik di tingkat kabupaten maupun kota. Lebih dari itu pada masing-masing kantor dinas tersebut ada “pegawai pengawas” yang antara lain yang antara lain bertugas untuk mengawasi pembayaran upah pekerja minimal sebesar UMP. Namun demikian Dinas-dinas tersebut mempunyai keterbatasn jumlah personil pengawas, sementara jumlah perusahaan yang harus diawasi dari waktu ke waktu terus meningkat jumlahnya. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab banyaknya pelaku usaha yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP, meskipun sebenarnya secara financial mampu.
Dalam situasi ketenagakerjaan seperti digambarkan di atas, wacana untuk memperluas pengawasan pembayaran upah minimal sebesar UMPmenjadi demikian urgent. Pertanyaan selanjutnya adalah menentukan siapa pelaku pengawasan yang mempunyai komitmen dan juga sekaligus mempunyai kompetensi di bidang pengupahan ini. tinggi dengan masalah pengupakan ini dan juga nerapan Upaya untuk memaksa pelaku usaha agar minimal membayar upah pekerjanya sebesar UMP tertuang dalam UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Pelanggaran terhadap undang-undang tersebut pelaku usaha dapat dikenai sanksi penjara 1 tahun sampai selama-lamanya 4 tahun atau denda sebesar 100 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 400 juta rupiah.
Di lihat dari sisi sanksi yang dikenakan “nampaknya” mampu memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya. Kenyataannya sangat jarang kita temukan dalam praktek pelaku usaha yang dikenai sanksi ini. Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan sanksi ini jarang dikenakan antara lain tingginya tingkat pengangguran sehingga ada kekhawatiran akan mempersempit lapangan usaha. Dari sisi pelaku usahanya sendiri masih banyak yang menganggap pekerja tidak lebih dari sekedar faktor produksi. Dengan begitu apabila ada permasalahan dengan pekerja, maka dapat segera disubstitusi dengan pekerja yang lain.
.Dalam situasi pengupahan seperti digambarkan di atas, wacana untuk memperluas pelaku pengawasan pengupahan semakin menguat. Para pekerja diharapkan dapat berperan sebagai pengawas pengupahan di tingkat perusahaan. Apabila perusahaannya tidak memberikan upah sebesar UMP, maka para peerja ini akan membahas masalahanya dengan pihak manajemen ataupun pelaku usaha. Jika pembahasan di tingkat perusahaan yang bersifat bipartite ini belum memberikan hasil, maka masalahnya dapat dikonsultasikan kepada kantor dinas ketenagaklerjaan di tingkat kabupaten ataupun kota. Bahkan dalam situasi tertentu pekerja dapat melaporkan maslahnya ke kantor tersebut.
Wacana pengawasan pengupahan ini juga dapat diperluas lagi pada tingkat serikat atau organisasi pekerja. Serikat pekerja yang anggotanya adalah para pekerja ini diharapkan dapat berperan aktif baik dalam penentuan besarnya upah di tingkat perusahaan maupun dalam pengawasan pembayarannya. Pengawasan yang dilakukan oleh serikat pekerja ini diharapkan lebih efektif karena mempunyai bargaining power yang lebih kuat dibanding dengan pekerja secara individual. Dari sudut pandang pelaku usaha, pengawasan ini juga dapat bernilai positif, di mana permasalahan pengupahan dapat segera dikomunikasikan untuk brsama-sama dipecahkan. Munculnya pemogokan bukan hanya merugikan secara gfinansial bagi kedua belah pihak tetapi juga merusak hbungan kerja yang sudah terbangun sebelumnya. Ketidakmampuan pelaku usaha dalam membayar upah minimal sebesar UMP juga dapat dikomunikasikan dengan pekerja ataupun serikat pekerjanya, untuk selanjutnya diambil suatu kesepakatan. Sementara itu dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota dapat mengambil peran dalam legalisasi pelaku usaha yang mengajukan penundaan pembayaran UMP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.